Pada jaman kerajaan Mataram dimana wilayahnya meliputi Jawa Tengah dan
sebagian Jawa Timur, diantaranya Pacitan, Bojonegoro sampai Padangan. Konon pada
saat itu ada “ABDI dalem” dari Kadipaten Padangan, yang saat itu Mataram (Jogjakarta)
yang di kenal Kadipaten Malang Negara. Karena perkembangan wilayah dan untuk
menjaga stabilitas Kadipaten Malang Negara maka “Abdi Dalem” tersebut diminta agar
menggalang kekuatan baik dibidang ekonomi, politik, budaya dan keamanan, yang
bersangkutan agar membuka hutan yang sekiranya dapat dijadikan Pedesaan ke arah
selatan dari arah Padangan.
“Abdi Dalem” yang bernama Raden Sontobali yang bergelar Raden Cokro
Sontobali (dari Kerajaan Mataram) melakukan perjalanan kurang lebih 20 km dari
Kadipaten Padangan. Disanalah beliau membuka lahan untuk pertanian, peternakan dan
untuk tempat tinggal. Dalam jangka waktu singkat banyak orang yang berdatangan ikut
bertempat tinggal untuk membuka lahan pertanian. Di pusat kerajaan banyak yang
membeli hasil pertanian (jagung, padi, ketela pohon dll) dari wilayah tersebut.
Hal ini terjadi karena adanya hubungan kekerabatan dari kerajaan Mataram
yang telah mengenal Raden Cokro Sontobali sehingga setiap kali para pedagang datang,
beliaulah yang menjadi tumpuan pertama dalam mencaribarang dagangan. Sesuai
dengan tugas yang di emban oleh beliau untuk mengembangkan wilayah dibidang
ekonomi, politik, budaya dan keamanan, kemudian berdatangan orang-orang disekitar
tempat Raden Cokro Sontobali untuk bermukim, dengan harapan bisa memperoleh
mata pencaharian yang layak dan mudah untuk menjualnya.
Seiring dengan pesatnya perkembangan wilayah tersebut Pemerintahan
Kerajaan Mataram dan Kadipaten Malang Negara menyatakan kawasan tersebut perlu
adanya Perwakilan (Pemerintahan) yang bertanggungjawab, maka Raden Cokro
Sontobali diangkat menjadi sesepuh wilayah tersebut oleh warga setempat.
Dengan semangat Raden Cokro Sontobali bersama warganya membuka hutan
untuk lahan pertanian sebagai pengembangan wilayah dengan mempertimbangkan
keseimbangan alam. Disaat babat alas secara gotong royong mereka kehausan,
kemudian Raden Cokro Sontobali menemukan sumber mata air yang berada dibawah
pohon besar. Mereka lalu beramai-ramai minum dan membasuh badan di mata air
tersebuat. Ada salah seorang yang bertanya kepada Raden Cokro Sontobali “Pohon apa
ini Raden ?“ kemudian Raden Cokro Sontobali menjawab “Ini pohon Rao“. Secara
serempak mereka menyebutnya “Ngrao” dan sejak saat itu Raden Cokro Sontobali
atas persetujuan warganya bahwa wilayahnya diberi nama “Ngrao”.
Untuk pertama kalinya Pemilihan Kepala Desa dilakukan secara langsung oleh
masyarakat dengan cara memeluk calon Kepala Desa secara berantai, ini terjadi pada
tahun 1907 M. Setelah terjadi pergantian Kepala Desa dan seiring dengan
perkembangan zaman maka pada akhirnya nama “Ngrao” berubah menjadi
“NGRAHO” sampai sekarang
1 RADEN COKRO SONTOBALI 1907-1930
2 KADIS 1930-1951
3 MA’RUF 1951-1979
4 YUSUF 1979-1999
5 M. ARIFIN, S.Ag. 1999-2008
6 SUTRISNO 2008-2015
7 MUSTAKIM 2016-Sekarang
Batas Sebelah Utara ; Desa Blimbinggede – Desa Kalirejo
Sebelah Barat : Desa Mojorejo – Desa Sumberagung
Sebelah Selatan : Desa Geneng Kecamatan Margomulyo
Sebelah Timur : Desa Blimbinggede
Download Lampiran:
SEJARAH DESA NGRAHO